Pada 9 Desember 2023, Ketua Firma Hukum FAIR, Febi Yonesta, berkesempatan memandu diskusi secara daring tentang Kemerdekaan Beragama, bersama Klinik Kemerdekaan Beragama Fakultas Hukum Harvard. Hadir dalam diskusi tersebut beberapa narasumber antara lain: Joshua McDaniel (Direktur Klinik), Parker Knight (Instruktur Klinik), Katie Mahoney (Fellow Instruktur Klinik), dan Steven Burnet (Fellow Instruktur Klinik). Diskusi tersebut merupakan bagian dari Program Mentorship bagi Mahasiswa Hukum Indonesia, dibawah tema Pathway To Pluralism, yang diselenggarakan oleh American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI), dimana Febi Yonesta berperan sebagai salah satu mentornya.
Di dalam diskusi tersebut, Febi Yonesta menyampaikan beberapa pertanyaan panduan antara lain:
- Bagaimana klinik kemerdekaan beragama mengembangkan strategi hukum dalam penanganan kasus-kasus tersebut? Termasuk bagaimana membangun argumen hukum atau hak asasi manusia, serta bagaimana menentukan mekanisme hukum yang paling tepat dalam kasus-kasus tersebut?
- Tantangan apa yang dihadapi oleh klinik saat menangani kasus-kasus tersebut, baik tantangan hukum maupun tantangan non-hukum, seperti pandangan bias atau tekanan publik? Dan bagaimana mengatasi tantangan tersebut?
- Bagaimana cara klinik melibatkan mahasiswa dalam penanganan kasus tersebut, bagaimana prosesnya dan kontribusi apa yang diberikan oleh mahasiswa dalam penanganan kasus tersebut?
Di bagian awal, Joshua McDaniel terlebih dahulu memperkenalkan profil Klinik Kemerdekaan Beragama Fakultas Hukum Harvard, dimana para dosen, pengacara, dan mahasiswa bekerjasama dalam memberikan layanan hukum secara pro bono kepada para korban pelanggaran hak beragama mereka. Joshua lebih lanjut menjelaskan bahwa kemerdekaan beragama merupakan hak konstitusional yang dijamin melalui Amndemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat. Dimana kemerdekaan tersebut termasuk kemerdekaan memeluk, berpindah agama, dan kemerdekaan menjalankan agamanya. Namun demikian, kemerdekaan tersebut tetap dapat dibatasi dengan alasan-alasan yang tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan jaminan kemerdekaan beragama itu sendiri.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan berbagi pengalaman Klinik Kemerdekaan Beragama Harvard dalam beberapa penanganan kasus, yang disampaikan oleh para instruktur klinik. Beberapa kasus yang menarik untuk diangkat antara lain:
- Kasus Samantha, seorang warga muslim Amerika, yang ditolak bekerja pada suatu perusahaan, dengan alasan bahwa perusahaan tersebut memiliki kebijakan yang melarang pemakaian tutup kepala.
- Kasus Groff yang ditolak permintaannya untuk tidak bekerja pada hari Minggu oleh Jawatan Pos, dengan alasan beban pekerjaan yang akan menumpuk, padahal hari Minggu itu merupakan hari istirahat menurut keyakinan agamanya
- Kasus Ramirez, seorang Kristen Baptis, yang permintaannya untuk didoakan oleh seorang Pendeta Baptis saat akan dilaksanakan eksekusi mati, ditolak oleh pihak pemerintah.
- Kasus Mac, seorang Muslim mualaf, yang mengalami gangguan dan pembatasan saat melakukan ibadah shalat di penjara.
Dalam banyak kasus tersebut, Klinik Kemerdekaan Beragama Harvard berhasil mendapatkan kesepakatan penyelesaian yang menguntungkan para korban, dan menunjukan kepada pengadilan bahwa para korban memiliki hak yang sah menurut amandemen pertama konstitusi amerika. Dalam membangun argumen hukumnya, Klinik Harvard menekankan pentingnya memberikan akomodasi yang layak bagi para korban untuk dapat menjalankan keyakinan agamanya, selama tidak membebani biaya secara signifikan untuk menyediakan akomodasi tersebut. Klinik bahkan merujuk pada sejarah praktik pemenuhan hak beragama untuk mendukung argumen kasusnya.